Belakangan ini fenomena ‘Rental Pacar’ (Rentaru Kareshi) yang cukup populer di Jepang, berhasil menjadi perbincangan hangat di kalangan penghuni jagad dunia maya. Jasa penyewaan kekasih ini sudah ada di Jepang sejak 30 tahun lalu.

Rental pacar merupakan jasa yang ditawarkan oleh seseorang untuk menjadi kekasih sementara atau pura-pura berdasarkan kontrak yang telah disepakati oleh dua pihak, penyedia jasa dan klien. 

Biasanya, selama masa perentalan mereka akan melakukan aktivitas layaknya pasangan kekasih pada umumnya seperti bergandengan, saling bersandar di ruang publik, makan bersama, nonton dan lain-lain. Bedanya, pasangan kekasih yang satu ini berpacaran tanpa didasari dengan rasa cinta namun berdasarkan kebutuhan tertentu bagi klien, dan uang bagi penyedia jasa. 


Meskipun terdengar tidak biasa, jasa rentaru kareshi ini bahkan tidak lagi hanya dilakukan oleh individu, namun terdapat semacam agensi khusus yang menaunginya. Orientasi masyarakat Jepang yang mayoritas tertuju pada pekerjaan, membuat sebagian besar dari mereka tidak terbiasa untuk berhadapan dengan lawan jenis yang mereka sukai dan tidak jarang merasakan kekosongan akan kesendirian. 


Jasa rentaru kareshi ini dapat dimanfaatkan sebagai latihan agar tidak gugup saat menghadapi lawan jenis yang mereka incar atau sekedar menjadi peneman malam sepi. Karena benefit yang dirasakan itulah, jasa rentaru kareshi ini sangat populer dan berkembang dengan baik di Jepang. 


Berkat adanya internet, kepopuleran rentaru kareshi di Jepang sampai pada telinga masyarakat Indonesia. Dari yang awalnya merasa aneh dan heran, perlahan mulai diikuti oleh sejumlah orang untuk membuka jasa ini.


Jasa rental pacar di Indonesia dapat banyak kita temukan di Twitter ataupun Facebook. Pengguna jasa ini sampai sekarang belum sepopuler dan sebesar di Jepang, penyedia jasa rental pacar masih banyak dilakukan secara individu. Namun jangan salah, meskipun tidak seperti di Jepang, pengguna jasa ini cukup banyak di Indonesia.


Banyaknya pertanyaan sejenis ‘kapan nikah?’, ‘mana gandengannya?’ dan lain-lain yang sering dilontarkan pada individu yang belum memiliki pasangan, menjadi salah satu faktor tumbuhnya jenis usaha jasa rental pacar ini di Indonesia. 


Terlebih saat pandemi mengharuskan kita untuk membatasi interaksi sosial secara langsung dengan orang-orang, yang bisa dilakukan hanyalah berdiam diri di rumah. Keterbatasan akibat pandemi selama kurang lebih dua tahun juga memicu rasa stress dan memuncaknya perasaan kesepian dalam pribadi seseorang. 


Hakikat Afeksi adalah Dipenuhi

Sebagai makhluk sosial, sejatinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi satu sama lain. Entah itu kita membutuhkan keluarga kita sebagai tempat pulang, membutuhkan teman untuk mengisi kesendirian hari, hingga pasangan untuk memenuhi ego asmara yang dimiliki setiap orang.


Jasa rental pacar tidak hanya menguntungkan bagi customer yang membutuhkan asupan afeksi sementara bagi dirinya. Karena hubungan apapun bersifat timbal balik, maka pelaku usaha jasa rental pacar pun pasti akan mendapatkan feedback yang sama seperti apa yang ia keluarkan kepada customernya.


Kami mendapat kesempatan untuk berbincang dengan salah satu pelaku usaha jasa sewa pacar di Surakarta. Sebut saja Putra, seorang mahasiswa berusia 21 tahun yang membuka jasa sewa pacar semenjak November 2021 hingga saat ini.


“Aku orangnya suka males ribet kalo terlibat di hubungan real yang butuh melibatkan banyak perasaan”, ujar Putra saat ditemui tim Lentera.


Memang jaman sekarang, banyak anak muda terutama mahasiswa yang mulai jenuh dengan kehidupan sehari-harinya dan membutuhkan kegiatan selingan. Namun mendapatkan tambatan hati tidak semudah menjentikkan jari tangan. Timbullah ide untuk membuka jasa sewa pacar tersebut.


Terkait tarif dan biaya penggunaan jasa sewa pacar, Putra memang tidak mematok tarif untuk dirinya. Namun sebelum menjalankan ‘hubungan sementara’, Putra mengharuskan customer untuk membuat perjanjian/kesepakatan hitam di atas putih tentang hal dan batasan apa saja yang boleh atau tidak boleh mereka lakukan.


“Jadi pertama pasti kontakan dulu, abis itu klien kasih tau ekspektasi dia tentang hubungan yang mau dia jalanin. Kalo udah, kita bikin kontrak tertulisnya baru abis itu deal. Biasanya buat kegiatan yg kita lakuin juga kaya orang pacaran pada umumnya aja sih, paling jalan, nonton, makan, gitu”, pungkasnya.


Putra mengaku selama ia membuka jasa sewa pacar, ia pun merasa mendapatkan benefit yang bahkan lebih dari apa yang customer dapatkan darinya.


“Selain dapet afeksi juga, aku sih ngerasa untung yaa karena kalo jalan makan atau nonton gitu pasti dibayarin hahaha”, tambah Putra sambil tertawa kecil.


Berbicara soal perasaan, Putra selalu berusaha profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Bawa perasaan (baper) kepada customer merupakan hal yang lumrah bagi Putra. Pasti ada terbesit pikiran untuk melarutkan perasaan kepada hubungan mereka. Namun Putra pun sadar, hubungan yang ia jalani dibatasi oleh kontrak di atas kertas.


Terlepas dari semua keuntungan positif dan kemungkinan negatif, setiap orang memiliki pendapat berbeda tentang jasa sewa pacar ini. Dita, salah satu mahasiswa di Surakarta mengaku setuju dan mendukung jasa sewa pacar ini asalkan tidak melampaui batasan yang sudah dijanjikan. Hal serupa juga dilontarkan Ryan, pekerja kantoran di Jakarta, “Yaaa gapapa sih, toh bisa menghasilkan uang dan bikin happy kedua pihak. Jadi yaa oke oke aja”, ujarnya saat diminta pendapat tentang fenomena ini.


Lain halnya dengan Septian, mahasiswa di Semarang yang menentang fenomena tersebut karena menurutnya akan membuat pergaulan anak muda semakin tidak terkendali. Septian menganggap jika semakin luas fenomena jasa sewa pacar ini menyebar, akan semakin sulit pula bagi anak muda untuk mencari pasangan yang memang serius untuk menjalani hubungan.


“Kalo aku sih ga setuju ya, karena makin banyak yang buka jasa sewa pacar, makin susah nantinya buat cari pacar yang beneran. Orang-orang jadi males buat effort, gampang banget lagian tinggal keluarin duit, eh udah dapet pacar. Terus juga kalo makin banyak yang begitu, pergaulan makin bebas juga dong”, jelasnya.


Bagaimana Psikologi Memandang

Dalam perspektif psikologi, fenomena rental pacar disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial serta kurangnya perhatian orang-orang terdekat dari oknum yang memakai jasa tersebut. 


“Mungkin bisa berkaitan dengan peran keluarga dalam hal ini. Bisa saja hal tersebut dilakukan karena kurangnya peran dari orang tua seperti figur ayah atau ibu sehingga berpengaruh terhadap lingkungan sosialnya” ujar Anisa Kartika, M.Psi, Psikolog yang merupakan seorang psikolog.


Figur ayah atau ibu yang tidak didapatkan sebagaimana mestinya membuat mereka kehilangan support system dalam hidupnya. Hal ini juga didukung dengan faktor lainnya seperti merasa kesepian, rasa kebanggaan dalam lingkungan sosialnya, atau alasan mengenai seksualitas. 


Rental pacar juga dapat menjadi ajang microcheating ketika salah satu oknum memiliki pacar sungguhan. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan tujuan dari oknum tersebut dalam melakukan rental pacar ini.


Selain itu, dampak dari penggunaan jasa rental pacar memungkinkan terjadinya gangguan kejiwaan tertentu. Gangguan kejiwaan bisa saja terjadi akibat ekspektasi yang diidamkan oleh pengguna tidak sesuai dengan realita yang terjadi.


Rental pacar juga dianggap tidak dibenarkan untuk dilakukan bagi sebagian besar orang karena bersifat sementara (semu). Selain itu, masih banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk menuangkan afeksi selain dengan rental pacar. 


Anisa berpendapat, terdapat banyak hal yang dapat dilakukan untuk menuangkan afeksi yang berujung pada kegiatan yang positif. Kegiatan yang bisa lakukan untuk menuangkan afeksi seperti mendatangi kajian bagi yang beragama Islam, ikut dalam suatu komunitas, atau mendatangi panti asuhan untuk menjenguk bayi-bayi yang ditelantarkan. Dengan hal tersebut, sudut pandang seseorang mengenai afeksi tersebut dapat berubah. 


Terakhir, Anisa juga menuturkan bahwa rental pacar tidak perlu untuk dilakukan karena seseorang akan lebih bisa menganggap dirinya berharga daripada melakukan hal tersebut. Harga diri seseorang bisa dilihat melalui penghayatan terhadap diri sendiri. Selain itu, seseorang harus melakukan penilaian terhadap diri sendiri, mengenai kebutuhan dalam dirinya dan menyelesaikan konflik yang belum terselesaikan pada dirinya sendiri.